Sabtu, 23 Januari 2010

Memotong Benang Tenun

Ibu Mencius meminta murid Confusius, Zi si, agar mengambil anaknya sebagai murid. Pada mulanya Mencius belajar sungguh-sungguh. Tapi sesudah beberapa hari, perhatiannya mulai berkurang. Suatu hari, saat gurunya keluar, Mencius bersama teman-temannya membolos.

Suatu hari, ketika Mencius pulang terlambat ke rumahnya sepulang sekolah. Sang Ibu yang lagi menenun kain,bertanya : “Mengapa kamu pulang terlambat hari ini?”

Mencius terdiam. Sang ibu merasa ada sesuatu yang salah. Sang ibu menanyakannya lagi.

“Saya bermain kucing-kucingan,”jawab Mencius akhirnya. “Belajar sangat membosankan,”lanjutnya..

Sang ibu yang mendengar jawaban tersebut hanya diam. Namun tiba-tiba, sang ibu memotong benang tenunnya,terus berkata,”Sekarang benang itu putus, dapatkah ibu terus menenun?”

Mencius diam,. “tidak bu”katanya.

“Demikian juga dengan belajar. Jika kamu berhenti di tengah jalan, kamu tidak akan berhasil.”

Nah, apa hikmah dari cerita singkat berikut??

“kita tidak dapat berhenti di tengah jika kita ingin mencapai keberhasilan. Teruslah berusaha keras sampai tujuan akhir tercapai.”

“Never, Never, Never Give Up” (Winston Churchill)

Burung Dan Telur

Zaman dahulu ada seekor burung yang tidak mempunyai tenaga
untuk terbang. Seperti ayam, ia berjalan-jalan saja di
tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung yang bisa terbang.

Karena berbagai keadaan, ada telur seekor burung yang bisa
dierami oleh burung yang tak bisa terbang itu.

Setelah sampai waktunya, telur itu pun menetas.

Burung kecil itu masih memiliki kemampuan untuk terbang yang
diwarisi dari ibunya, yang tersimpan dalam dirinya sejak ia
masih berada dalam telur.

Ia pun berkata kepada orang tua angkatnya, "Kapan aku akan
terbang?" Dan burung yang hanya bisa berjalan di tanah itu
menjawab, "Cobalah terus menerus belajar terbang, seperti
yang lain."

Yang tua itupun tidak tahu bagaimana mengajarkan cara
terbang kepada anak angkatnya: ia bahkan tidak tahu
bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar bisa belajar
terbang.

Dan aneh bahwa burung kecil itu tidak mengetahui hal
tersebut. Pemahamannya terhadap keadaan terkacau oleh
kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada burung yang
telah mengeraminya.

"Tanpa jasa itu," katanya kepada diri sendiri, "tentu aku
masih berada dalam telur."

Dan ia juga kadang-kadang berkata kepada dirinya sendiri,
"Siapa pun bisa mengeramiku, tentu bisa juga mengajarku
terbang. Tentunya hanya soal waktu saja, atau karena usahaku
yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung:
ya, ini jawabnya. Tiba-tiba suatu hari aku akan terbawa ke
tahap berikutnya oleh-nya yang telah membawaku sejauh ini."

Catatan

Kisah ini terdapat dalam berbagai bentuk dalam versi-versi
yang berbeda dari karya Suhrawardi, Awarif al-Maarõf, dan
mengandung pelbagai pesan. Konon, kisah ini bisa ditafsirkan
secara intuitif sesuai dengan tahap kesadaran yang telah
dicapai oleh orang yang belajar ilmu Sufi. Yang jelas saja
kisah ini mengandung nasehat-nasehat, beberapa diantaranya
menekankan dasar dasar utama peradaban modern, antara lain:

"Konyollah apabila kita beranggapan bahwa suatu hal
mengikuti sesuatu yang lain; anggapan itu juga menghalangi
kemajuan selanjutnya," dan "Bahwa sesuatu bisa melakukan
fungsi tertentu tidaklah berarti bahwa juga ia bisa
melakukan lungsi yang lain."

Semut Dan Capung

Seekor semut yang pikirannya tersusun dalam rencana teratur,
sedang mencari-cari madu ketika seekor capung hinggap
menghisap madu dari bunga itu. Capung itu melesat pergi
untuk kemudian datang kembali.

Kali ini Si Semut berkata,

"Kau ini hidup tanpa usaha, dan kau tak punya rencana.
Karena kau tak punya tujuan nyata ataupun kira-kira, apa
pula ciri utama hidupmu dan kapan pula berakhir?"

Kata Si Capung,

"Aku bahagia, dan aku mencari kesenangan, ini jelas ada dan
nyata. Tujuanku adalah tanpa tujuan. Kau boleh merencanakan
sekehendakmu; kau tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih
berharga daripada yang kulakukan ini. Kaulaksanakan saja
rencanamu, dan aku rencanaku."

Semut berpikir,

"Yang tampak padaku ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa
yang terjadi pada semut. Aku tahu apa yang terjadi pada
capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku."

Dan semutpun berlalu, sebab ia telah memberikan teguran
sebaik-baiknya dalam masalah itu.

Beberapa waktu sesudah itu, mereka pun bertemu lagi.

Si Semut menemukan kedai tukang daging, dan ia berdiri di
bawah meja tumpuan daging dengan bijaksana, menunggu saja
apa yang mungkin datang padanya.

Si Capung, yang melihat daging merah dari atas, menukik dan
hinggap diatasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging
berayun dan membelah capung itu menjadi dua.

Separoh tubuhnya jatuh di lantai dekat kaki semut itu.
Sambil menangkap bangkai itu dan mulai menyeretnya ke
sarang, semut itu berkata kepada dirinya sendiri.

"Rencananya tamat sudah, dan rencanaku terus berjalan. Ia
laksanakan rencananya -sudah berakhir, Aku laksanakan
rencanaku -mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting,
nyatanya hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan
dimakan. Ketika aku katakan hal ini, yang mungkin
dipikirkannya adalah bahwa aku suka merusak kesenangan orang
lain."